Skip to content Skip to navigation

KERANGKA DASAR KEPUSTAKAWANAN INDONESIA

Sejawat (Calon) Pustakawan (Purnatugas) yang saya hormati,

Awal November ini sebuah Seminar Nasional dengan tema: Kompetensi Pustakawan di Era Global, diselenggarakan di Yogyakarta. Menurut penyelenggara, seminar ini diadakan sebagai sarana untuk mendiseminasikan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan kesiapan pustakawan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia dan AFTA (Asean Free Trade Area) serta pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi, baik dalam teori maupun praktek. Diharapkan juga akan terbangun diskursus yang ilmiah dan konstruktif atas persoalan yang terkait dengan perpustakaan dan kepustakawanan dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang saat ini menghadapi persoalan yang kian kompleks.

Sekedar mengingatkan, sebenarnya antisipasi atas akan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) maupun Asean Free Trade Area (AFTA) sudah saya usulkan dalam Musyawarah Daerah Ikatan Pustakawan Indonesia Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 27 Februari 2003. Saat itu saya berpendapat bahwa yang harus segera disempurnakan adalah kondisi konsultan perpustakaan di Indonesia (Sudarsono, Standardisasi konsultan perpustakaan, 2003). Pemikiran untuk membuat standar konsultan perpustakaan diusulkan sebagai upaya untuk membatasi leluasanya konsultan perpustakaan asing bekerja di Indonesia. Salah satu elemen yang harus dipenuhi dalam standar konsultan perpustakaan Indonesia itu adalah penguasaan terhadap kondisi sosial ekonomi Indonesia. Dengan kriteria ini tentu pihak Indonesia akan terlibat atau bahkan akan mendominasi pekerjaaan konsultatif perpus­takaan di Indonesia. Sayang usulan tahun 2003 itu tidak pernah mendapat tanggapan para pustakawan Indonesia. Apakah kini kita punya lembaga konsultan perpustakaan milik bangsa Indonesia yang benar professional? Saya persilakan sejawat untuk menjawab pertanyaan ini.

Kini, sebuah seminar diselenggarakan untuk mengantisipasi pemberlakuan Asean Free Trade Area pada tahun 2015. Diharapkan juga akan ada pembahasan tentang kurikulum pendidikan formal calon pustakawan melalui jenjang Perguruan Tinggi, sebagai bagian dari antisipasi itu. Tentu ini amat baik, hanya saja ada sedikit pertanyaan: “Apakah tidak terlambat jika sekarang kita baru membicarakannya?” Mungkin banyak pendapat mengatakan biar terlambat, kita akan bisa. Tentu ini semangat optimisme yang harus kita miliki. Namun jujur juga harus kita berani mengakui bahwa standar kurikulum pendidikan calon pustakawan melalui pendidikan formal perguruan tinggi, sepertinya juga belum kita sepakati. Nah sebelum kita jauh melangkah (mengikuti penggal syair dalam lagu Jangan ada dusta di antara kita), saya justru ingin menyampaikan sesuatu yang saya anggap sangat mendasar yaitu: Kerangka Dasar Kepustakawanan Indonesia (KDKI).

Seminar kali ini dapat saya katakan sebagai seminar tentang perjalanan dan bagaimana perjalanan itu akan dilakukan. Perjalanan Pustakawan Indonesia menuju MEA dan bagaimana melakukannya. Namun apakah benar bahwa MEA adalah tujuan akhir Pustakawan Indonesia? KDKI ini saya usulkan menjadi salah satu referensi bagi Pustakawan Indonesia menuju sasaran akhir Kepustakawanan Indonesia. Memang sebagai usulan saya juga siap seandainya usulan ini ditolak. Namun perlu saya sampaikan bahwa KDKI ini menjadi salah satu buah pikir selama saya setia meniti jalan kepustakawanan yang empat puluh tahun lamanya. Bukan pemikiran ilmiah, namun pemikiran penghayatan atas jalan kepustakawanan saya. Jalan yang saya sebut: jalan sunyi berliku dan mendaki, penuh pencarian dan penantian, penuh rintangan dan harapan (4 Juli, 2012). Berikut adalah inti pemikiran tersebut:

KEPUSTAKAWANAN INDONESIA

EMPAT PILAR PENYANGGA

                Kepustakawanan adalah Panggilan Hidup

                Kepustakawanan adalah semangat hidup

                Kepustakawanan adalah Karya Pelayanan

                Kepustakawanan adalah profesional

LIMA DAYA UTAMA

                Berpikir kritis, analitis, dan kritis

                Berkemampuan membaca

                Berkemampuan menulis

                Berkemampuan wira usaha

                Menjunjung tinggi etika

TIGA SASARAN ANTARA

                Menjadi cerdas (Bright)

                Menjadi kaya (Rich)

                Menjadi benar (Right)

TUJUAN AKHIR

MANUSIA PARIPURNA YANG BAHAGIA DAN BERGUNA BAGI SESAMA

 

Sebenarnya rincian bahasan atas kerangka dasar di atas sudah saya sampaikan dalam berbagai tulisan saya sebelumnya. Berawal dari tulisan saya berjudul Kepustakawanan yang saya sampaikan pada saat saya memulai rangkaian Kuliah Umum Terbuka dan Gratis, pada tanggal 4 Juli 2011, di Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII-LIPI). Selanjutnya materi ini saya sampaikan juga pada kalangan mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan di berbagai kota seperti: Makasar, Surabaya, Malang, Solo, Yogyakarta, Semarang, dan Pekanbaru.  Memang saat itu saya belum menemukan rumusan seperti terlihat di atas. Rumusan di atas baru saya temukan saat saya membaca pengumuman akan diselenggarakannya seminar ini di Yogya. Tepatnya rumusan itu saya buat pada 5 Oktober 2014.

Saya mengakui bahwa kebanyakan sejawat tidak akan tertarik dengan pembicaraan mengenai hal-hal yang ada dalam tanah. Yang memang menarik adalah hal di atas tanah, ibaratnya pohon tentu akan dilihat batang, cabang, rnating, daun, bunga, dan buah. Siapa tertarik dengan akar atau bahkan benihnya? Padahal pohon yang baik dan berbuah manis tentu sangat tergantung dari benih dan kerja akar dalam menumbuh kembangkan pohon itu sampai berbuah manis untuk dinikmati.

Waktu itu, saya berkomunikasi dengan Ibu Labibah, menyatakan keinginan saya untuk menulis sebuah makalah yang saya sumbangkan dalam rangka kegiatan seminar kali ini. Lama saya berpikir apakah benar saya akan menulis makalah? Untuk apa saya menulis? Apakah makalah akan efektif menimbulkan suatu diskursus atau diskusi berkelanjutan? Padahal saya pribadi merindukan adanya diskusi berkelanjutan atas suatu topik yang kita sepakati. Sepertinya hal itu belum saya Temukan. Jikalaupun sudah ada, apakah juga sudah berdampak pada kehidupan Kepustakawanan Indonesia?  Maka saya tetap bereksperimentasi dengan membuat surat terbuka ini. Tentu saya sangat berterima kasih jika surat terbuka saya ini diijinkan panitia untuk dibagikan pada sejawat peserta seminar. Di samping itu tentu saya juga menunggu adakah respon dari sejawat untuk memulai diskusi berkelanjutan atas KDKI ini. Sebelum kita nanti membangun suatu diskursus, saya berpendapat sebaiknya menyampaikan pola pikir yang selama ini saya pakai terlebih dahulu. Beberikut pola pikir yang saya anut.

Oleh karena itu uraian tentang pola pikir triadik (kebertigaan) ini disampaikan terlebih dahulu.

PENDEKATAN TRIADIK

               Berpikir logis, analitis, dan kritis

               Hidup dalam konsep ruamg dan waktu

               Berpendekatan sistemik

Tanggapan, komentar, atau kritik yang sering saya dengar mengenai cara saya menyam­paikan pendapat baik secara lisan maupun tertulis adalah tentang cara saya berpikir atau berbicara yang sering dikatakan ”rumit” dan meloncat-loncat. Selain itu banyak yang berpendapat bahwa apa yang saya sampaikan adalah pendapat pribadi, belum dapat dikatakan sepenuhnya sebagai karya ilmiah. Uraian berikut saya harapkan dapat menerangkan mengapa cara itu yang selama ini saya pakai dalam memikirkan kepustakawanan Indonesia.

Meskipun saya mempunyai kegemaran membaca sejak kecil bahkan sudah mengenal lembaga “Taman Pustaka”, namun baru mengetahui adanya profesi Pustakawan saat diterima bekerja di Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional (PDIN) pada tahun 1973. Artinya baru pada usia 25 tahun saya mengetahui adanya profesi itu. Mungkin itu akibat sempitnya wawasan saya yang hanya berfokus pada bidang yang dipelajari saja. Bisa juga karena belum cukup efektifnya para Pustakawan Indonesia menerangkan kepada masyarakat luas akan adanya profesi itu.

Ketercengangan akan adanya profesi itu, terlebih dengan persyaratan yang disebut bahwa untuk menjadi Pustakawan dipersyaratkan seseorang harus belajar Ilmu Perpustakaan dan mendapatkan kesarjanaan dalam ilmu itu, menimbulkan beragam pertanyaan pada diri saya. Salah satu pertanyaan mendasar dari saya yang antara lain adalah: Apakah Ilmu Perpustakaan itu benar sebuah ilmu? Apa saja yang dicakup ilmu itu? Adakah hukum dasar yang dipakai dan mampu untuk menerangkan berbagai fenomena yang terjadi dengan dunia perpustakaan? Pertanyaan ini wajar muncul karena sempitnya pengetahuan saya yang saat itu masih terpusat hanya pada Ilmu Fisika. Wajar juga jika selanjutnya ilmu ini sangat mempengaruhi pola pikir saya.     

Adalah kebetulan bahwa awal bekerja di PDIN saya ditugaskan melakukan klasifikasi dan pemberian tajuk subjek pada bahan perpustakaan yang akan ditambahkan pada koleksi Pusat Perpustakaan PDIN. Klasifikasi memang awal dari setiap usaha manusia untuk memahami sesuatu atau fenomena. Manusia membeda-bedakan objek yang tidak sejenis, dan mengelompokkan objek sejenis. Pada dasarnya klasifikasi adalah upaya membedakan, maka umumnya ada dua hal yang dipisahkan. Ilmu fisika juga membedakan dua yang terpisah itu, namun tidak berhenti pada dua yang terpisah itu. Ilmu fisika mencari keterkaitan atau interaksi antara dua yang terpisah itu menggunakan matematika. Jadi pada dasarnya konsep yang dipakai adalah konsep triadic atau “kebertigaan” atau pola tiga.

Berpikir dengan pola tiga selalu mengacu pada tiga elemen atau tiga kemungkinan terkait dengan objek yang dipikirkan. Kita sebagai manusia memiliki tiga hal utama yaitu: lahir, hidup, dan mati. Dalam perpustakaan ada tiga hal utama: pengadaan, pengolahan, dan layanan pustaka. Beragam dan banyak contoh dapat disebut tentang tiga hal utama dari setiap fenomena. Dalam melatih berpikir menggunakan pola tiga ini, terdapat tiga hal utama yang sepertinya sangat sederhana yaitu: mendeskripsikan, membandingkan, dan mengevaluasi.

Kebiasaan menggunakan pola tiga tersebut akan menguatkan kemampuan berpikir dan memberi daya bagi seseorang dalam menentukan pilihan. Juga akan melatih kemampuan berpikir untuk melihat hubungan antar berbagai kekuatan dan kejadian. Uraian singkat dan jelas tentang Berpikir Pola Tiga (triadic thinking) dapat dibaca antara lain di alamat berikut yang saya akses pada 18-Feb-2014, Pkl 20/05 WIB. http://www.floatingneutrinos.com/Message/Triadic%20Thinking.html

Bagaimana saya menggunakan pola tiga itu? Berikut adalah tiga elemen pendekatan berpikir saya:           

1) Bahwa dalam berpikir perlu: a) Logis, b) Analitis, c) Kritis.

                        2) Bahwa kehidupan adalah fungsi ruang dan waktu à f (x,y,z,t).

                        3) Bahwa kehidupan adalah juga sistemis.

Logis, Analitis, dan Kritis

Tiga unsur berpikir ini secara otoamtis saya peroleh dan harus dipahami dan dihayati karena disiplin awal yang saya tempuh dalam rumpun eksakta. Secara otomatis kemampuan berpikir ini memang menjadi awal berpikir untuk mempelajari bidang tersebut. Sudah selayaknyalah jika saya menganut dan mengikuti paham tersebut.

Kehidupan adalah fungsi ruang dan waktu

Ekspresi (x,y,z,t) menyatakan makna dinamika. Hal itu ditunjukkan oleh parameter waktu yang dinyatakan dengan huruf t yang tidak terbalikkan (irreversible). Jika parameter x,y,z dapat bergerak ke kiri – ke kanan, ke atas – ke bawah, dan ke muka – ke belakang, maka parameter t hanya maju terus tanpa bisa mundur. Parameter t inilah yang mengekspresikan ”dinamika”. Dengan kata lain bahwa perubahan selalu terjadi! Sekarang dan sekarang adalah lain karena ada elapse time antara pengucapan kata sekarang yang pertama dan kata sekarang yang kedua. Dapat juga dipakai pernyataan ini: yang abadi adalah perubahan. Dengan demikian objek studi selalu berubah juga.

Kehidupan adalah juga sistemis

Kehidupan itu sendiri ada dalam suatu sistem, maka selayaknya memahami kehidupan itu juga memakai pendekatan sistem. Dengan pola pikir ini semua objek studi, kita pandang dengan pendekatan system. Sebuah system saya lukiskan dalam bangun segitiga sama sisi. Bentuk segitiga sama sisi ini juga hasil diskusi saya pada tahun 1985, dengan Dr. Nilyardi Kahar, fisikawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Mengapa segitiga sama sisi? Karena hanya segitiga sama sisi (sistem) yang dapat dibagi menjadi segitiga sama sisi lebih kecil (sub sistem) dengan jumlah tak berhingga. Atau dengan kata lain sebuah segitiga sama sisi (system) tersusun dari segitiga sama sisi kecil (sub system) yang tak berhingga jumlahnya.

Dengan pola pikir itu saya berusaha mencari benih Kepustakawan Indonesia. Saya menuduh bahwa perpustakaan dan kepustakawanan kita itu ibaratnya pohon adalah pohon “cangkokan” dan tidak tumbuh dari benih aslinya. Kalaupun bangunan juga saya katakan bangunan di atas pasir tanpa fondasi. Lalu siapa yang seharusnya menemukan benih atau menggali lubang untuk meletakkan fondasi bangunan tersebut? Saya memohon juga sejawat menjawab pertanyaan ini.

Pada kesempatan Refleksi Akhir Tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) di rumah saya (Garasi Condet), saya menyampaikan refleksi dalam tujuh pokok berikut (Condet, 21 Desember 2013)

1.         Kita pahami (yakini) bahwa kehidupan (kebudayaan) moderen selalu berawal dari penerapan ilmu pengetahuan. Demikian juga selayaknya bahwa suatu perpustakaan moderen selalu bermula dari penerapan ilmu perpustakaan.

2.         Semua orang dapat menyebut dirinya mampu bernyanyi. Sebagian dari mereka mulai menyusun konsep dasar atau teori atau ilmu seni suara. Mereka mendirikan sekolah seni suara sampai pada tingkat sekolah tinggi, bahkan ada yang menyebutnya dengan nama koservatori. Kini semua orang juga dapat menyebut dirinya mampu membangun perpustakaan, namun siapa atau pihak mana yang seharusnya memikirkan pengembangan ilmu perpustakaan di Indonesia?

3.         Semua orang yang menyebut dirinya mampu membangun perpustakaan itu sebenarnya menurunkan (mendegradasi) tingkat keilmiahan konsep suatu perpustakaan. Celakanya para lulusan sekolah perpustakaan juga tidak selalu menunjukkan a real professional quality. Muncul pernyataan: “Jika hanya itu tugas pustakawan, sepertinya semua orang juga bisa! Apa memang harus melalui sekolah perpustakaan untuk menjadi pustakawan?”

4.         Muncul pertanyaan berikutnya: “Apa sebenarnya konsep keilmiahan perpustakaan itu? Jawabnya tentu ditunggu dari para ILMUWAN di Bidang Ilmu Perpustakaan! Namun jujur harus kita jawab pertanyaan ini: ”Adakah ilmuwan itu kita miliki?” Kalaupun kita sudah memiliki, muncul pertanyaan lanjutan: ”Apakah ilmu kita ini sudah mampu berbicara memakai bahasa akademik saat berhadapan dengan ilmu lainnya?” 

5.         Perjalanan panjang saya dalam bidang ini meyakinkan bahwa Perpustakaan adalah Pustakawannya. Lalu pihak manakah yang menghasilkan pustakawan itu? Bukankah itu peran lembaga pendidikan? Apakah lembaga pendidikan itu sudah merumuskan akan menghasilkan manusia pustakawan seperti apa? Dalam hal ini lembaga pendidikan tidak hanya mengajarkan the so called library science, namun hendaknya juga membangun karakter calon pustakawan yang dididiknya. Selain menghasilkan pustakawan, hendaknya lembaga pendidikan juga menghasilkan Ilmuwan di Bidang Ilmu Perpustakaan. Paling tidak lulusan sekolah perpustakaan adalah manusia yang memiliki jiwa Kepustakawanan? 

6.         Apakah kepustakawanan itu? Kepustakawanan adalah keutamaan seorang pustakawan. Adalah panggilan hidup, semangat hidup, karya pelayanan, dan yang dilaksanakan secara profesional. Maukah kita membangun dan mengembangkan kepustakawanan Indonesia?

7.         Memang tidak semua harus, namun harus juga ada pihak yang mau untuk memikirkan dan merumuskannya melalui studi mendalam dan berkelanjutan, kanthi wening lan sareh (dengan jernih dan sabar).

                                                                                                                       

Sebenarnya masih begitu banyak uneg-uneg yang ingin saya lontarkan. Namun ada pertanyaan pada diri saya: “Apakah bijaksana?” Maka sebagai penutup surat terbuka saya ini. Saya sampaikan usulan saya tentang Janji Pustakawan Muda Indonesia.

Setujukah anda dengan janji ini? Marilah kita lakukan diskusi berkelanjutan.

JANJI PUSTAKAWAN MUDA INDONESIA

Kami Calon Pustakawan dan Pustakawan Muda Indonesia,

mengaku berprofesi sebagai Pustakawan Indonesia yang adalah warga Bangsa dan Negara Indonesia.

Kami Calon Pustakawan dan Pustakawan Muda Indonesia,

Sebagai profesional senantiasa berusaha memahami, menghayati, dan mengembangkan Jati Diri Pustakawan Indonesia, berkarya bagi Bangsa dan Negara Indonesia, untuk mencapai cita-cita Bangsa dan Negara Indonesia.

Kami Calon Pustakawan dan Pustakawan Muda Indonesia, 

Mewaspadai, menolak, dan memberantas segala hal yang merugikan bahkan dapat menghancurkan Bangsa dan Negara Indonesia.

 

Yogyakarta, 4 November 2014

Salam hormat saya,

Blasius Sudarsono

Pembelajar Kepustakawanan pada Kappa Sigma Kappa INDONESIA.




[1] Surat terbuka untuk peserta: Seminar Nasional - Building New Competencies Amongs LIS Professionals.

Yogyakarta, 4 Nopember 2014

 

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Web page addresses and e-mail addresses turn into links automatically.
  • Lines and paragraphs break automatically.
CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.
Image CAPTCHA
Enter the characters shown in the image.