Skip to content Skip to navigation

Optimasi Layanan Perpustakaan Melalui Media Sosial

Pada hari Kamis, 17 Juni 2021 lalu, Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengadakan acara diskusi online yang bertajuk “Optimasi Layanan Perpustakaan Melalui Media Sosial”. Hadir sebagai narasumber, Kepala Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Ibu Labibah Zain MLIS., dan bertindak sebagai host adalah Dian Arya S., M.T., pustakawan UPI. Dalam diskusi ini dibahas bagaimana pandemi telah merubah pemanfaatan media sosial oleh perpustakaan.

Pandemi COVID-19 membuat perpustakaan menghindari layanan luring (tatap muka) untuk menghindari terjadinya kerumunan. Hal ini mengharuskan para pustakawan terus memutar otak agar bisa melayani pemustaka, karena --seperti yang dikatakan oleh host-- pustakawan tanpa pemustaka, ibarat sambal tanpa cabai. Jika perpustakaan tidak ada yang memanfaatkannya, maka tidak ada perpustakaan.

Salah satu dampak perpustakaan adalah dengan memberikan manfaat ke komunitasnya. Bagaimana cara meningkatkan impact on society? Salah satu caranya adalah orang harus tahu tentang kondisi perpustakaan, apa yang terjadi dan dilakukan oleh perpustakaan selama perpustakaan menutup layanan luring. Percaya atau tidak, dengan tidak membuka layanan luring, perpustakaan menjadi lebih sibuk dari pada menerima langsung pemustaka di perpustakaan. Selain itu, orang harus tahu apa yang dilayankan oleh perpustakaan dan apa yang bisa didapatkan dari layanan perpustakaan tersebut. Lalu bagaimana cara perpustakaan untuk bisa tetap berinteraksi dengan pemustaka? Salah satu caranya adalah dengan penggunaan media sosial. Tapi penggunaan media sosial yang bagaimana dan seperti apa, itulah yang dibahas oleh Ibu Labibah.

Selama masa pandemi ini, waktu yang dihabiskan orang dalam mengakses internet meningkat secara signifikan. Sebagai gambaran, rata-rata waktu yang digunakan orang Indonesia untuk mengakses internet perharinya adalah 8 jam (sumber: hootsuite, Jan 2021). Berbeda jauh dengan angka yang didapat APJII tahun 2018, dimana hampir 50% penduduk Indonesia hanya mengakses internet selama 3-4 jam. Dari 8 jam yang digunakan tersebut, 3 jam 14 menit digunakan untuk mengakses media sosial, dan yang paling sering digunakan adalah Youtube, Whatsapp, Instagram.

Lalu bagaimana hubungannya dengan perpustakaan? Strategi yang bisa dilakukan oleh perpustakaan dalam pemanfaatan media sosial dapat dilakukan adalah dengan menggunakan strategi ABCDE (Any Place, Branding, Communication, Discovery, Experience). Yang bisa dilakukan pertama kali oleh perpustakaan yaitu media sosial dapat digunakan sebagai media promosi layanan. Promosi ini bisa berisi informasi mengenai bagaimana anggota perpustakaan dapat memanfaatkan layanan yang dimiliki oleh perpustakaan secara daring. Contohnya adalah dengan membuat sebuah post mengenai bagaimana cara memanfaatkan layanan perpustakaan secara daring (how to/ instruction), membuat resensi buku pilihan yang dimiliki perpustakaan dalam jangka waktu tertentu secara rutin, serta bisa juga dengan membuat acara siaran langsung (live) mengenai kegiatan perpustakaan yang menarik perhatian khalayak umum.

Lalu layanan apa saja yang dapat dipromosikan melalui media sosial, terutama di masa pandemi ini?
- Informasi mengenai layanan sirkulasi selama masa pandemi
- Informasi mengenai bagaimana pemanfaatan layanan secara daring
- Informasi Kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan
- Informasi perubahan mengenai peraturan kunjungan ke perpustakaan
- Informasi mengenai protokol kesehatan selama masa pandemi
- Informasi yang tepat mengenai COVID-19 untuk menangkal hoax yang masih beredar di internet, karena perpustakaan merupakan lembaga informasi dan sumber pengetahuan, sehingga memiliki kewajiban untuk melakukan edukasi yang tepat untuk mengurangi berita palsu
- Informasi mengenai data penggunaan dan sirkulasi layanan perpustakaan untuk menunjukkan kapabilitas perpustakaan
- Membagikan testimoni dari anggota mengenai layanan yang telah diberikan oleh perpustakaan, sehingga dapat meningkatkan nilai lembaga di mata masyarakat umum

Salah satu contohnya adalah seperti apa yang dilakukan Ibu Labibah sejak mulai dilakukannya pembatasan sosial, di bulan Maret 2020. Beliau langsung berinisiatif membuat live IG (Instagram) setiap minggu, demi menjaga interaksi dengan pemustakanya menggunakan media sosial. Perpustakaan UPI juga terinspirasi dari inisiatif UIN Sunankalijaga dan membuat kegiatan serupa dengan tajuk Bisa Berkawan, Bincang Santai Bersama Pustakawan, yang masih rutin terus berjalan sampai sekarang.

Yang kedua, Perpustakaan juga dapat membuat jaringan kerjasama dengan perpustakaan lain dalam ruang lingkup media sosial, seperti misalnya kolaborasi kegiatan, promosi hasil karya riset ilmiah antara lembaga perpustakaan serta saling menginformasikan layanan yang dimiliki. Kegiatan ini bisa berdampak pada peningkatan altmetrik masing-masing lembaga tersebut dan tentunya terhadap karya ilmiah itu sendiri.

Yang ketiga adalah hal yang paling penting dalam memanfaatkan media sosial dalam layanan perpustakaan, yaitu melakukan branding, serta memberitahukan kepada masyarakat umum bahwa perpustakaan tidak diam. Perpustakaan mampu mengedukasi serta memberikan jawaban atas kegelisahan yang dialami masyarakat, terutama di masa pandemi ini dengan memanfaatkan layanan daring yang dimiliki perpustakaan tersebut.

Untuk mengurangi beban pustakawan dalam mengisi konten media sosial, informasi-informasi tersebut dapat dikelola dalam Bank Konten. Bank Konten ini berfungsi untuk menampung seluruh ide, desain, serta konten publikasi sehingga pada saat dibutuhkan dapat langsung digunakan. Bank Konten ini juga dapat dikategorikan berdasarkan bulan atau event tertentu yang berkaitan dengan hari-hari besar negara, atau acara-acara khusus atau rutin yang dilakukan oleh lembaga.

Sebagai closing statement, Bu Labibah menyatakan bahwa kegiatan layanan perpustakaan secara daring melalui media sosial merupakan kesempatan yang sangat bagus dan dapat dikatakan efektif --terutama selama masa pandemi-- untuk memberikan layanan yang optimal kepada anggota perpustakaan serta masyarakat umum. Hal ini karena perpustakaan harus selalu kreatif dan mampu membuat sebuah inovasi yang out-of-the-box agar tetap dapat memberikan layanan yang terbaik.