Skip to content Skip to navigation

SYAIR HAMZAH FANSURI DI LEIDEN UNIVERSITY

 

Oleh:

Luthfiati Makarim[1]

luthfiati@perpusnas.go.id

luthfiatimakarim@gmail.com

 

Mengenalkan dan mempertahankan budaya itu penting,

supaya manusia bisa mengenal dirinya sendiri dan lebih saling menghargai.

(Introducing and maintaining the culture is important,

so that human can recognize themselves and can be more appreciating)

(Maisie Junardy)
 

 

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan jumlah penduduk 277,7 juta jiwa, terbesar ke empat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Sebagai negeri kepulauan, Indonesia terdiri dari 17.000 pulau (Jumlah Pulau di Indonesia Capai 17.000! | Indonesia Baik) (Nurhanisah, 2022), 718 bahasa daerah dengan 300 kelompok etnik atau 1.340 suku bangsa  (Indonesiabaik.id, 2017). Tidak heran, Indonesia menjadi negara yang sangat kaya dengan sumber daya, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, juga sumber daya kebudayaannya. Kekayaan bangsa Indonesia menjadi warisan berharga yang tak ternilai harganya bagi generasi penerus, anak cucu kita.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menyatakan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia. (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2018). Kebudayaan mampu menjadi investasi bangsa untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa Indonesia demi terwujudnya tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Keberagaman kebudayaan daerah di Indonesia juga dipandang sebagai kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah dinamika perkembangan dunia yang sangat cepat, dinamis, tidak pasti, kompleks, dan ambigu atau biasa disingkat VUCA.

Upaya memajukan kebudayaan nasional Indonesia memerlukan langkah strategis berupa upaya pemajuan kebudayaan melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Keempat langkah pemajuan kebudayaan tersebut diperlukan untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Upaya pelindungan budaya menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan terus-menerus secara berkesinambungan oleh pemerintah. Di dalam upaya pelindungan budaya, terdapat lima langkah operasional yang dilakukan di lapangan oleh lembaga atau instansi terkait, yaitu identifikasi objek kebudayaan dalam bentuk pendaftaran objek kebudayaan, verifikasi, pelestarian, pembinaan, dan pemasyarakatan nilai-nilai budaya kepada masyarakat.

Manuskrip atau naskah kuno (sering juga disebut dengan istilah naskah nusantara) merupakan salah satu dari 10 objek pemajuan kebudayaan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Perpustakaan Nasional RI sebagai salah satu lembaga pemerintah yang bertugas membantu Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perpustakaan, merupakan wahana pelestari kekayaan budaya bangsa sebagai salah satu upaya untuk memajukan kebudayaan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan terdapat enam pasal dan sembilan ayat dalam terkait identifikasi, penyimpanan, perawatan dan digitalisasi naskah kuno yang berada di tangan masyarakat hingga upaya untuk mengembalikan naskah kuno nusantara yang berada di luar negeri sebagai upaya negara untuk melestarikan budaya bangsa. Untuk itu, maka Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara, dengan pelaksana Koordinator Substansi Pengelolaan Naskah Nusantara, pada tahun 2021 merencanakan kegiatan Penelitian Naskah Residensial di Belanda. Kegiatan ini telah berhasil dilaksanakan dengan baik pada tanggal 13-19 September 2022 di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. 

 Naskah nusantara yang menjadi objek penelitian adalah naskah syair Hamzah Fansuri. Naskah ini telah ditetapkan oleh Perpustakaan Nasional RI, melalui rapat Dewan Pakar, menjadi Ingatan Kolektif Nasional (IKON) pada tanggal 17 Oktober 2022. Selain naskah Syair Hamzah Fansuri, dua naskah lain, yaitu naskah Tambo Tuanku Imam Bonjol dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian juga ditetapkan menjadi IKON.

Siapakah Hamzah Fansuri? Mengapa ia dianggap sebagai tokoh inisiator dalam syair dan prosa bahasa Melayu? Kita akan bahas bersama dalam pembahasan berikut. Hamzah Fansuri adalah tokoh besar dalam dunia puisi sufi Melayu yang hidup di Aceh atau Barus pada masa itu, di pertengahan abad 16 dan 17. Menurut catatan sejarah, Hamzah Fansuri lahir di kota Barus. Kota Barus pada masa itu dinamai “Fansur” sehingga kemudian nama ini menempel pada nama Hamzah, yaitu al-Fansuri. Selanjutnya namanya selalu disebut menjadi Hamzah Fansuri.

Hamzah Fansuri tercatat dalam literatur kesusasteraan Islam Nusantara, sebagai orang pertama yang memperkenalkan syair-syairnya dalam bentuk karya sastra di abad 16. Ia merupakan penulis puisi dan prosa Melayu pertama yang mencantumkan namanya di bawah tulisan puisi atau prosa. Hal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya di masa tersebut. Gaya ini menjadi tren dalam penulisan syair dan prosa yang terus berlanjut hingga masa sekarang. Hamzah Fansuri juga berperan besar dalam penyebaran Islam di Aceh dan sekitarnya, seperti Minangkabau, Sumatera Selatan, Riau, Singapura, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, wilayah Indonesia Timur, dan Sumbawa.

Syair-syair sufistik Hamzah Fansuri dalam bahasa Melayu umumnya terdiri dari 32 ikatan atau untaian yang berbentuk sajak empat baris dengan pola bunyi akhir a-a-a-a pada setiap barisnya. Masing-masing untaian syair memiliki panjang yang tidak sama, bervariasi dari 13 hingga 21 bait. Masing-masing syair terdiri dari empat baris. Hampir setengah dari 32 untaian syair memiliki 15 stro. Ungkapan syair yang dituangkan dalam setiap bait mampu membangun kesadaran masyarakatnya untuk peka terhadap perubahan yang terjadi di sekelilingnya sehingga mampu cermat dalam mengkritisi berbagai permasalahan sosial serta kreatif dalam menyumbangkan gagasan penyadaran masyarakat dan menjadi solusi alternatif bagi jalan penyelesaiannya. Terdapat empat judul syair karya Hamzah Fansuri yang terus dipelajari hingga sekarang, yaitu Syair Burung Pinggai, Syair Burung Pungguk, Syair Dagang, dan Syair Perahu.

Syair Dagang bercerita tentang kesengsaraan seorang anak dagang yang hidup di rantau. Syair ini menjadi rujukan contoh syair dagang yang lahir kemudian. Salah satu ciri kuat dari syair Hamzah Fansuri adalah bersifat mistis yang melambangkan hubungan Tuhan dengan manusia. Sifat tersebut sangat terlihat dalam Syair Burung Pingai.

Syair Burung Pingai bercerita tentang burung pingai yang melambangkan jiwa manusia dan juga Tuhan. Dalam syair ini, Hamzah Fansuri mengangkat satu masalah yang banyak dibahas dalam tasawuf, yaitu hubungan satu atau esa dan banyak atau multitheisme. Tuhan merupakan Yang Maha Esa sedangkan alam ciptaannya beraneka ragam. Sedangkan Syair Perahu melambangkan tubuh manusia sebagai perahu layang yang berlayar di laut. Pelayaran itu penuh mara bahaya sebagaimana kehidupan manusia di dunia ini.

Andries Hans Teeuw atau A. Teew, seorang pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda, menyebutkan terdapat tiga corak puisi Hamzah Fansuri yang meskipun puisi-puisi dan prosanya lahir di abad 16-17 namun puisi dan prosanya dapat disebut modern dalam permulaan dunia puisi di Indonesia dan Melayu. Tiga corak tersebut adalah: Pertama, pencantuman identitis individu penulis puisi. Puisi Hamzah Fansuri tidak anonym, sebagaimana umumnya puisi dan prosa pada masa itu. Hamzah Fansuri dengan tegas mengemukakan dirinya sebagai pengarang syairnya. Hamzah Fansuri memadukan namanya dengan kepribadiannya dalam puisi-puisinya. Oleh karena itu Hamzah Fansuri melambangkan era baru dalam sastra dan puisi Melayu, sebagai ungkapan seorang individu sekaligus tokoh agama yang memanisfestasikan kepribadiannya secara sadar dalam puisi.

Kedua, Hamzah Fansuri mampu menciptakan bentuk puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya. Hal tersebut terlihat dalam perkembangan puisi Indonesia di abad 20 ini. Contoh: penciptaan soneta oleh penyair abad 19 dan 20. Ketiga, pemakaian bahasa yang sangat kreatif. Sebahagian dari karya tersebut ditulis dalam bahasa Melayu, yang berbeda dari bahasa Arab, dan bahkan terdapat kata dalam bahasa Parsi.

Koleksi naskah berisi syair Hamzah Fansuri tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, perpustakaan Leiden University, Museum Aceh, dan Lembaga SOAS of London University. Naskah Hamzah Fansuri di perpustakaan Leiden University tersimpan dan terawat dengan baik. Terdapat 5 naskah kuno karya Hamzah Fansuri di perpustakaan Leiden University. Dalam rangka pengajuan naskah Hamzah Fansuri sebagai Ingatan Kolektif Nasional (IKON) dan ingatan dunia/MoW, maka Perpustakaan Universitas Leiden mengundang Perpustakaan Nasional RI pada bulan September 2022 untuk melakukan identifikasi dan inventarisasi terhadap naskah Hamzah Fansuri yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Melalui upaya pengkajian naskah kuno nusantara dan ditetapkannya naskah-naskah nusantara sebagai ingatan kolektif nasional, diharapkan masyarakat mengetahui keunggulan bangsanya, merasa bangga, dan memiliki karakter dan nasionalisme dan memiliki identitas kebangsaan yang kuat. Dengan demikian dapat terwujud bangsa Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.




[1] Koordinator Substansi Pengelolaan Naskah Nusantara, Perpustakaan Nasional RI.