Skip to content Skip to navigation

The Long and Winding Road...Blasius

Tahun 1999, setahun setelah kerusuhan, negara ini mulai menata kehidupan sosialnya. Sebuah orde lahir. Dan di usianya yang muda, orde reformasi merangkak tertatih seperti bayi yang baru berjalan.

Saya salah satu anak muda lulusan sekolah perpustakaan Unpad Bandung yang terjebak dalam kondisi sulit.
Dengan nilai matkul katalogisasi C dan IPK dibawah 3 nekat mau berperang mencari kerja dengan lokus ibukota. Saat itu gak ada internet mas broh. Belum hadir medsos. Satu satu informasi lowongan ya koran titik. Dan tahun 1999 koran Kompas yang biasanya menyediakan rubrik lowongan di halaman bekang...hampa isinya berita politik euforia tumbangnya sebuah orde.

Sedih memikirkan nasib ..dengan modal ijasah SSos dan sepatu kets yang dah jebol ...harus bertahan hidup, gak mungkin tetap di Bandung.

Akhirnya memutuskan cari kerja di Ibukota. .. numpang hidup di daerah Kukusan UI bareng teman. Dan targetnya 2 minggu harus bekerja kagak boleh jadi benalu.

Sedih? Ya..karena lewat sepanjang Pasar Minggu, bekas ruko dan ksntor masih gosong sisa dibakar massa. Pun dengan Mall Pasar Minggu tempat aku menunggu kekasihku yang kuliah di UI ikut hangus.

Kegalauanpun melanda saat itu. Apakah menjadi pustakawan bisa memenuhi impian impian kedepan kita? Galau yang dibunuh oleh aktifitas karena Tangan Tuhan ada dimana mana.
Saya diterima kerja di Trisakti sebagai staf pustakawan tahun 1999.

Mulailah saya membangun networking, jejaring, kolaborasi baik secara personal maupun ikut organisasi profesi sambil mengembangkan karir.

Adalah seorang Begawan yang low profile. Beliau seorang Kepala PDII LIPI saat itu, mau meladeni saya bocah ingusan remahan rengginang yang berdiskusi tentang arti kepustakawanan. Umumnya para Pejabat kepustakawanan itu Jaim, jaga image. Kalau Bapak ini tidak...

Saya masih merekam perbincangan dengan bapak itu...

"Menjadi Pustakawan itu seperti berjalan di jalan yang sunyi.....Kamu jangan berharap materi dari sana. Tapi jika kamu memilih kebahagiaan sebagai pustakawan, bisa meskipun jalannya panjang dan berliku." begitu wejangan beliau.

Saya jadi inget lagu Beatles, The Long and Winding Road mendengar kata kata Pak Blasius.

Tapi terus terang saya gak terlalu paham apa yang beliau katakan.

Dalam suatu perbincangan saat makan malam,  Blasius bercerita dihadalanku  mengenai semuanya – pengalamannya menjadi pustakawan yang paripurna, dari belia sampai uzur usianya menjelang pensiun. Bukan sekedar Pustakawan yang disibukkan oleh kegiatan rutinitas kepustakawanan yg membosankan, tapi juga Pustakawan dengan dimensi Sosial yang humanis.

Sulit. Sulit? Sulit! Sulit menjadi pustakawan yang diidamkan. Kami bertukar kata, saling menyampaikan pengalaman dan pandangan masing-masing.

Nasehat darinya:

"Kamu jangan  cepat bertekuk lutut menjadi pustakawan yang repetitif prosedural dan untuk mengabdi menjadi sahaya Yog."

"Menjadi Pustakawan yang sering terlihat adalah akumulasi ketertundukan manusia yang kehilangan dimensi kemanusianya. Pustakawan yang hanya terjebak dalam kegiatan repetitif administratif pagi – sore – siang – malam." Begitu Pak Blasius bdrbisik.

“Kita tak bisa mengharapkan menjadi pustakawan yang paripurna. Tak ada kebahagiaan sepenuhnya abadipun. Coba kau bayangkan. Apakah dengan memilih menjalani profesi ini kau siap melepaskan semua mimpi-mimpimu?

Wah saya makin bingung ngobrol filsafat kepustakawanan dengan Bapak ini.

Iya, jika kau pada akhirnya menemukan kebahagiaan yang sempurna. Jika tidak? Atau kita telah berjalan terlalu jauh dan tenggelam ke dalam obsesi menuju mimpi-mimpimu yang sendiri.

“Iya, selalu ada yang mesti dikorbankan,” ucapnya dengan sedih.

Hari ini tahun 2024 bulan Januari tanggal 7 Blasius wafat.

Untuk mengingat circle timeline perjalanan hidupku, saya tulis kenangan bareng Pak Blasius Sudarsono, sang maestro kepustakawanan Indonesia di jamannya.

Yogi Hartono
Kepala QA/QC & Digital Asset CNN Id