Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia
Menelusuri Jejak Pemetaan Keilmuan IP&I di Indonesia
Submitted by Anonymous on Tue, 10/02/2018 - 20:34
“Ini adalah sebuah forum diskusi yang sangat penting untuk menentukan masa depan. Jadi, Ilmu Perpustakaan itu sebenarnya akan dibawa ke mana.”
Itulah pernyataan Kepala Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Labibah Zain, dalam sambutan pembukaan diskusi bertema “Memetakan Perkembangan Ilmu Perpustakaan dan Informasi di Indonesia”, pada 15 Maret 2018, di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Saya sepakat bahwa ini peristiwa penting. Acara ini menjadi penting karena bertaut dengan peristiwa-peristiwa lain dalam rangkaian jejak kesinambungan diskusi mengenai IP&I di Indonesia.
Farli Elnumeri, Presiden Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII), mengingatkan tentang salah satu tonggak penting dalam jejak perjalanan itu.
“Tujuh tahun yang lalu, kita pernah mengumpulkan para Doktor Ilmu Perpustakaan dan Informasi.”
Tahun 2011, tepatnya 20-21 Juli, ISIPII era kepemimpinan Presiden Harkrisyati Kamil mengadakan kegiatan seminar ilmiah dan lokakarya nasional bertema “Information for Society: Scientific Point of View”.
Peristiwa 2011 ini punya makna signifikan secara akademis maupun politis. Ya, dua hal itu, ilmu pengetahuan dan kekuasaan, memang selalu berjalin-kelindan.
Secara akademis, ISIPII menghadirkan belasan doktor dengan interes serupa pada Ilmu Perpustakaan dan Informasi di Indonesia. Parade doktor di panggung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di DKI itu, bagi saya, merupakan peristiwa simbolik berskala nasional.
ISIPII mempertunjukkan bahwa ada komunitas cendekiawan, bergelar kesarjanaan tertinggi, secara bersama-sama mengusung satu bendera: Ilmu Perpustakaan dan Informasi.
Bahwa “Ilmu Perpustakaan dan Informasi” itu ada.
Dan bahwa para ilmuwan “Ilmu Perpustakaan dan Informasi” itu juga ada.
Langkah-langkah ISIPII itu adalah politik juga, kan?
Bukan cuma ajang eksistensi, tentu saja. Forum 2011 itu juga hendak menyampaikan pesan kepada khalayak bahwa “Ilmu Perpustakaan dan Informasi” bermanfaat bagi masyarakat.
Itu terbaca pada judul utamanya: “Information for Society”.
Agak ambisius bila melihat tonggak 2011 itu sebagai sebuah upaya yang bersifat sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui.
Pulau-pulau itu, dataran-dataran tempat berpijak itu adalah landasan filosofis untuk membuktikan keabsahan sebuah ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi[1].
Sepembacaan saya, ISIPII 2011 lebih menekankan perihal “keberadaan” komunitas ilmuwan dan ilmunya dalam lingkungan masyarakat akademik, belum melakukan pendalaman Ontologi.
Namun pada 2011 itulah ISIPII mengajukan landasan teori keilmuannya, yakni “Epistemologi Sosial”. Perihal ini akan dibahas lebih lanjut dalam catatan berikutnya.
Kembali ke Jogja.
“Jadi yang akan saya bicarakan pada hari ini adalah apa yang saya ketahui sebagai ilmuwan.”
Dapat dikatakan bahwa PLP mengajak untuk percaya (diri) bahwa, “Ya! Ilmu Perpustakaan dan Informasi adalah ILMU.”
Tanpa ada ilmu itu, tak mungkin ada kita. Tak mungkin ada komunitas pustakawan dan akademisinya. Tak mungkin ada ISIPII.
Jadi, persoalan jati diri keilmuan IP&I di Indonesia tak serta-merta muncul karena kontroversi penamaan program studi IP&I dalam Nomenklatur 2017 versi Kemristekdikti --yang melantur itu.
Bukan cuma karena itu[2].
Persoalan landasan keilmuan IP&I sudah menjadi salah satu proyeksi ISIPII sejak lama[3].
Sebuah pertanyaan mendasar yang tak hanya dihadapi oleh para doktor di bidang IP&I, sebetulnya. Namun juga mahasiswa IP&I jenjang Sarjana maupun Pascasarjana.
Kendati, tentu saja, para doktor, lah, yang menyandang tanggung jawab lebih besar untuk mencari jawaban mendasar itu. Karena memang itulah peran mereka, bukan?
Apa yang sudah dan masih PLP lakukan, yakni menggali dan membangun fondasi keilmuan IP&I yang khas Indonesia, sejatinya tidaklah benar-benar baru.
Upaya itu, atau paling tidak harapan mengenai hal itu, sudah muncul sejak halaman persembahan buku babon karya Sulistyo Basuki.
Jejak itu menunjukkan bahwa sejak buku daras pertama di bidang ilmu ini terbit, upaya memperjelas jati diri keilmuan “Ilmu Perpustakaan” ala Indonesia tengah mengecambah di kalangan akademisi kita.
Saya kira, tahun 1991-1992 adalah masa awal akademisi dan praktisi bidang ilmu ini berkolaborasi mengeksplorasi pertanyaan perihal landasan keilmuan mereka.
Jejak-jejak bibliografis di bawah ini dapat memberi petunjuk perihal dugaan itu.
Usul pendahuluan PLP dalam forum Kongres Ikatan Pustakawan Indonesia pada 1992 tersebut merupakan hasil penelitian yang dapat ditelusuri lewat katalog Perpustakaan UI[4].
Potongan-potongan pendapat PLP dalam laporan penelitian di atas menunjukkan benih-benih gagasannya mengenai landasan filosofis “Ilmu Perpustakaan” di Indonesia, yakni ontologinya yang merujuk pada rekaman pengetahuan dalam pengertian yang sangat luas; serta epistemologi sosialnya yang merujuk pada Jesse Shera.
***
Kembali lagi ke Jogja.
Catatan ini akan bersambung ke bagian tentang uraian pembicaraan dalam diskusi di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga. Saya akan mengutip beberapa pernyataan pembicara yang relevan untuk diuraikan, dengan risiko lepas dari konteks pernyataan sebelum dan sesudahnya.
Pustakawan adalah sebuah aplikasi berbasis web yang memungkinkan pustakawan atau profesional informasi untuk membuat subject guide atau pathfinder. Pustakawan dirilis open source dengan lisensi GNU GPL 3. Pustakawan bisa diunduh melalui halaman web Github.com di bawah ini, klik pada menu "Download ZIP" pada bagian sebelah kanan.
Add new comment