Skip to content Skip to navigation

KEPUSTAKAWANAN, MASALAH SOSIAL, dan EPISTEMOLOGI SOSIAL - (bagian 7 - selesai)

KEPUSTAKAWANAN, MASALAH SOSIAL, dan EPISTEMOLOGI SOSIAL - (bagian 7 - selesai) - oleh : Putu Laxman Pendit
_____
Ini adalah bagian ke-7 dan terakhir, sehingga kalau Anda baru kali ini mampir, ada 6 tulisan lain yang sebaiknya Anda baca. Silakan merunut dari awal. Selalu ingat nasihat emak, "Membaca itu baik, dan melatih kita sabar sampai akhir"
_____
Sewaktu Shera dan Egan memperkenalkan istilah "epistemologi sosial" ke kalangan Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IP&I) tahun baru saja menunjukkan angka 1950-an. Di sekitar saat itu, Indonesia juga baru berkenalan dengan dunia Kepustakawanan yang notabene adalah warisan zaman kolonial.
Ingat, sebelum kata 'pustaka' digunakan meluas di Indonesia sebagai kata 'perpustakaan', Belanda sudah mendirikan sebuah badan bernama Balai Pustaka yang pada tahun 1930-an aktif mengembangkan perbukuan, sastra, pendidikan, dan tradisi membaca
Ingat pula, seperti yang kita bicarakan di tulisan-tulisan sebelumnya, semua ilmu sesungguhnya adalah sekumpulan manusia yang hidup di zaman tertentu, di wilayah tertentu, dan yang memiliki pandangan atau pikiran tertentu sesuai dengan tempat dan waktu mereka hidup.
Untuk memahami IP&I sebagai ilmu sosial, dan khususnya untuk memahami penggunaan teori-teori ilmu sosial seperti Epistemologi Sosial, kita perlu mengetahui sejarah perkembangan ilmu dan situasi sosial ketika sebuah teori diperkenalkan.
Di awal 1950-an Shera dan Egan adalah pustakawan-pustakawan Amerika Serikat yang berminat mempelajari apa sesungguhnya peran pustakawan bagi kepentingan masyarakatnya. Di masa itu, komputer belum banyak digunakan masyarakat awam. Bahkan di kalangan terbatas pun, yaitu di kampus-kampus dan lembaga-lembaga ilmiah, komputer masih sangat jarang digunakan.
Sementara kondisi di Indonesia di waktu yang sama bahkan lebih berbeda lagi. Jangankan komputer, mesin tik dan Bahasa Indonesia saja belum meluas digunakan. Buku masih sangat langka, walau suratkabar dan radio sudah mulai hadir meluas. Sementara stasiun televisi pertama di Indonesia harus menunggu sekitar 12 tahun lagi.
Ketika usia kemerdekaan Indonesia baru 5 tahun, Shera dan Egan sudah menawarkan teori Epistemologi Sosial untuk mengantisipasi penggunaan berbagai teknologi media di masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pekerjaan mereka sebagai pustakawan dan peneliti IP&I. Sementara di Indonesia, Pemerintah waktu itu baru saja mau mulai melanjutkan tradisi kolonial, dengan penyesuaian di sana-sini, dalam masyarakat yang masih tinggi tingkat buta hurufnya.
Bisa kita bayangkan perbedaannya, bukan?!
Dan juga bisa kita bayangkan bahwa kondisi kontras ini tentu saja juga menimbulkan "masalah sosial" yang berbeda. Secara universal, semua ilmu sosial tentu memiliki kesamaan, seperti halnya ilmu alam dan humaniora di mana pun di dunia ini sama-sama mempelajari fenomena serupa yang sesuai lingkup kajiannya.
Namun sebagai bagian dari masyarakat manusia, maka semua ilmu dipengaruhi oleh kondisi-kondisi spesifik. Apalagi ilmu sosial! Ia adalah ilmu yang justru memperhatikan (dan sangat dipengaruhi) oleh kondisi dan perkembangan sosial di masyarakat tempat ilmu itu berkembang dan digunakan.
Shera dan Egan menawarkan sebuah teori yang berisi tiga komponen. Secara ringkas, ketiganya adalah : analisis situasi, analisis organisasi bibliografi, dan analisis statistik yang sudah dikenal sebagai bibliometrika. Sebagai teori, ketiga analisis ini merupakan panduan bagi penelitian ilmiah [Bukan panduan kerja di perpustakaan]
Melalui ketiga unit analisis ini lah, dan terutama melalui unit pertama [ analisis situasi ] Shera dan Egan mengaitkan kegiatan Pustakawan di perpustakaan dengan kondisi serta perkembangan masyarakatnya. Alih-alih hanya berkonsentrasi pada apa yang dikerjakan Pustakawan, teori Epistemologi Sosial mengajak IP&I ke luar dari kandang, atau turun dari menara gadingnya.
Sejak tawaran Shera ini lah, para pihak di IP&I dan Kepustakawanan Amerika Serikat secara ilmiah dan serius memasukkan berbagai teori ilmu sosial ke dalam kajian-kajian mereka. Hasil dari kajian-kajian ini kemudian "diturunkan" ke praktik-praktik kepustakawanan melalui pendidikan-pendidikan profesional.
Mengapa muncul gagasan Shera tentang Epistemologi Sosial di tahun 1950-an? Jawabannya dapat kita peroleh kalau melihat apa yang terjadi di masyarakat Amerika Serikat pada waktu itu. Salah satu fenomena yang merebak adalah terbentuknya embrio dari apa yang kemudian kita kenal dengan istilah "Masyarakat Informasi" (information society) yang antara lain dipopularkan lewat kajian-kajian ekonomi dan sosiologi.
Masalah-masalah sosial yang menjadi perhatian di Amerika Serikat ketika itu adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan teknologi media elektronik dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan bisnis serta perekonomian. Kelak, satu dekade kemudian, fenomena ini ditulis secara popular dan menjadi buku yang amat laris.
Sementara di waktu yang sama, Indonesia masih berkutat dengan kemiskinan, dan Kepustakawanan Indonesia masih harus bergulat dengan penyediaan sarana, termasuk penyediaan sumberdaya manusia. Masyarakat Indonesia waktu itu tentu saja juga mengalami fenomena yang sama dalam hal perkembangan teknologi media massa, namun adalah naif kalau kita menyimpulkan bahwa situasi di Amerika Serikat tercermin di Indonesia.
Masalah-masalah sosial yang muncul di Indonesia pada tahun 1950-an dan 1960-an pun sangat berbeda. Ingat, dalam terminologi ilmu sosial, sebuah 'masalah' adalah bangunan-pikiran (konstruksi) dari sebuah masyarakat. Artinya, apa-apa yang dianggap sebagai masalah oleh orang Indonesia, tentu saja tidak sama dengan apa-apa yang dianggap masalah oleh orang Amerika Serikat.
Terlebih lagi, bagi Kepustakawanan Indonesia tahun 1950-an, masalah pekerjaan teknis di dalam perpustakaan sendiri masih lebih penting, daripada masalah di masyarakat. Konsentrasi Kepustakawanan (dan Ilmu Perpustakaan) Indonesia waktu itu sama sekali tidak berkaitan dengan apa yang terjadi di masyarakatnya (tingkat buta huruf tinggi, buku langka, kemiskinan meluas, dsb.).
Shera dan Egan baru ditengok oleh IP&I di Indonesia tahun 1990-an, empat puluh tahun setelah diperkenalkan di Amerika Serikat. Dalam waktu empat dekade itu, teori-teori ilmu sosial yang digunakan di IP&I sudah berkembang lebih jauh lagi.
Pada tahun 1997, teori Shera "digali kembali" oleh para sosiolog dan Shera Sang Pustakawan dinobatkan sebagai salah satu pemikir sosiologi Amerika Serikat. Pada tahun 2000, teori ini mengalami peninjauan dan "bongkar pasang" di kalangan IP&I dengan mengundang pemikir-pemikir bidang filsafat, khususnya filsafat teknologi-informasi dan filsafat informasi.
Di Indonesia, peninjauan terhadap teori Shera oleh salah satu proponen Filsafat Informasi, yaitu Luciano Floridi, menjadi fokus dari disertasi Dr Taufik Asmiyanto yang kemudian menyebarkannya sebagai tawaran pondasi ke kalangan pustakawan dan pendidikan profesional.
Diperlukan pembicaraan dan diskusi lebih lanjut kalau kita ingin mengulas lebih lanjut klaim-klaim ilmiah dan filosofis terhadap teori Epistemologi Sosial di IP&I. Namun tidak lah kemudian dapat kita katakan bahwa klaim-klaim tersebut mengubah karakter IP&I sebagai ilmu sosial, sehingga tidak pula dapat dijadikan alasan untuk mengubah IP&I menjadi sebuah ilmu yang berbeda. Apalagi kalau kemudian kita tidak dapat menemukan apa sesungguhnya yang berbeda dari "ilmu baru" itu kelak.
Sementara upaya mengubah IP&I lewat peninjauan salah satu teorinya berlangsung di Indonesia, masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan penyelenggaraan serta praktik-praktik Kepustakawanan terus bermunculan, dan terus menjadi bagian yang relevan. Semua pustakawan, di Indonesia maupun di bagian lain dunia ini, terus berusaha memahami masalah-masalah sosial di lingkungan terdekat maupun terjauhnya.
Sebab kepustakawanan, dan segala bentuk turunannya seperti kearsipan, dokumentasi, manajemen rekod, dan sebagainya akan seterusnya merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat di mana mereka berada.
Ilmu Perpustakaan dan Informasi akan terus menjadi tumpuan harapan umat manusia sebagai cabang ilmu yang ikut berperan dalam tidak saja memahami masalah-masalah sosial, namun juga berpartisipasi dalam upaya memecahkan dan mengatasinya.

 

Bagian 1

Sumber: https://www.facebook.com/631103700433496/posts/1749180888625766/